Caulfield, Karakter Cerminan Penulisnya?
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Watak pemberontak Caulfield, karakter ciptaan J.D. Salinger dalam novel The Catcher in the Rye, telah mengilhami banyak remaja dan anak muda.
Lama tidak terdengar kabarnya, dan banyak orang mungkin tak menyangka ia masih hidup, tiba-tiba Salinger membuat berita. (“Salinger yang mana?” pertanyaan yang muncul; adakah Salinger selain penulis The Catcher in the Rye?, pencipta karakter Holden Caulfield, dengan nama depan Jerome David; mungkin saja, tapi untuk apa membicarakan selain dia?)
Waktu itu tahun 2009. Usia Salinger sudah mencapai 90 tahun, namun ia tak kalah garang dibandingkan dengan setengah abad sebelumnya. Dari pertapaannya di Cornish, New Hampshire, AS, ia menyatakan kemarahannya terhadap sebuah novel berjudul 60 Years Later: Coming Through the Rye yang dijadwalkan terbit di Inggris pada musim panas dan di AS pada musim gugur tahun itu.
Novel yang ditulis oleh John David California (nama samaran yang bila diringkas jadi J.D. California tampak serupa dengan penulisan J.D. Salinger) ini, menurut koran Inggris, The Telegraph, mengisahkan hidup seorang pria berusia 76 tahun dengan nama inisial “Mr. C”. Ia melarikan diri dari rumah jompo dan dalam perjalanannya bertemu dengan ‘figur seperti Salinger’ yang berusaha melacak jejak Caulfield muda.
Mengapa Salinger marah? Apakah Mr. C stand-in karakter Caulfield?
The New York Post menduga, buku ini—di mata Salinger—adalah “unauthorized sequel” The Catcher dan, yang membikin Salinger geram, penulisnya telah menyelewengkan karakter Caulfield. Dalam karya utama Salinger, yang terbit tahun 1951 Caulfield adalah remaja berusia 16 tahun—“Mr. C” dalam 60 Years Later berumur 76 tahun. Caulfield kabur dari rumah setelah dikeluarkan dari sekolah, Mr. C kabur dari rumah jompo. Mirip bukan? Apakah California bermaksud meledek Salinger?
Orang juga masih menduga-dua soal lain, mengais cerita di balik berita. Misalnya, karya penulis yang menyebut dirinya J.D. (John David, bukan Jerome David) California, diterbitkan oleh Windupbird Publishing. Nama ini mempunyai konotasi lain, The Wind-Up Bird Chronicle, judul novel karya Haruki Murakami, penulis Jepang, yang terbit tahun 1997 dan menggambarkan karakter ala Caulfield-ian.
Apakah ini sebuah cult? Pemujaan dengan cara lain, dan bukan copy-cat seperti yang dituduhkan sebagian orang?
The Catcher in the Rye memang melahirkan pemuja di mana-mana, dan tetap dibaca orang sampai kini. Hingga tahun 2004, novel ini diperkirakan sudah terjual sebanyak 65 juta eksemplar dalam berbagai bahasa dan masih dicetak sekitar 250 ribu eksemplar setiap tahun. Mula-mula ini dianggap bacaan orang dewasa, namun karakter Holden Caulfield yang memberontak, membangkang, dan menganggap orang dewasa penuh kepalsuan menjadi daya tarik bagi remaja.
Paradoks mewarnai The Catcher: dibaca, bahkan menjadi bacaan wajib di sekolah dan kolese berbahasa Inggris, tapi juga dikecam karena di dalamnya bertebaran kata-kata kasar. Majalah Time memujinya, dan pernah memasukkan karya Salinger ini di antara 100 novel berbahasa Inggris terbaik dalam rentang waktu 1923-2005. Modern Library dan pembaca yang disurvei memilihnya sebagai salah satu dari 100 novel berbahasa Inggris abad ke-20.
Tak lama setelah terbit, tahun 1951, koran The New York Times memuji karya Salinger ini sebagai “novel perdana yang brilian”. Yang lain mengecam: novel yang penuh omong kotor, bahasanya monoton, dan kasar. Entah karena ini, seperti lazimnya masyarakat menyukai kontroversi, dalam dua bulan sejak diterbitkan, The Catcher dicetak delapan kali dan masuk daftar buku terlaris The New York Times selama 30 minggu.
Bakat menulis Salinger sebenarnya sudah diendus oleh Whit Burnett, editor majalah Story sejak ia belajar di Ursinus College dan mengambil kursus menulis malam hari. Mula-mula Salinger tidak menunjukkan keistimewaannya, hingga beberapa pekan menjelang kursus selesai, kata Burnett, “Ia tiba-tiba hidup.” Burnet sempat menjadi mentor Salinger. John Updike juga memuji, “cerpen-cerpen Salinger benar-benar membuka mata saya bagaimana Anda bisa merangkai fiksi dari serangkaian peristiwa yang kelihatannya hampir tidak terhubungkan, atau hubungannya sangat tipis….”
“Siapa sastrawan yang memengaruhi Anda?” tanya editor The New Yorker, William Maxwell, 1951. Ia menyebut sederet nama penulis yang sudah mangkat. “Saya menyukai Kafka, Flauber, Tolstoy, Chekhov, Dostoevsky, Proust, O’Casey, Rilke, Lorca, Keats, Rimbaud, Burns, E. Bronte, Jane Austen, Henry James, Blake, Coleridge. Saya tidak menyebut nama penulis yang masih hidup.” Namun, di lain kesempatan, ia kabarnya mengaku mengagumi F. Scott Fitzgerald, menganggap dirinya penerus Fitzgerald, malah.
Sukses The Catcher mengundang perhatian publik ke arah dirinya. Dua tahun sesudah The Catcher, ia menerbitkan kumpulan cerita pendek, Nine Stories. Lalu muncul kumpulan novella dan cerita pendek Franny and Zooey (1961) dan kumpulan dua novela berjudul Raise High the Roof Beam, Carpenters and Seymour: An Introduction (1963). Karya Salinger semakin jarang muncul, hingga publikasi terakhirnya, "Hapworth 16, 1924," muncul di The New Yorker 19 Juni 1965. Ia menyepi di Cornish—apakah ini seiring dengan kegemarannya memakai narator orang pertama, sebuah inner monolog?
Namun, The Catcher-lah yang selalu melekat pada Salinger, kendati ia menelurkan sejumlah karya lain yang tidak diterbitkan. Karakter Caulfield menarik sejumlah orang Hollywood untuk mengadaptasinya ke layar lebar. Sam Goldwyn membujuk Salinger agar memberinya izin, tapi Salinger menolak. Ia punya pengalaman buruk dengan Goldwyn yang memfilmkan Uncle Wiggily in Connecticut, cerpen Salinger namun dengan adaptasi yang—menurut Salinger—amat longgar dan melenceng dari ceritanya.
Marlon Brando, Jack Nicholson hingga Tobery Maguire, Steven Spielberg, dan Leonardo DiCaprio kabarnya juga sudah bersusah-payah membujuk Salinger agar diizinkan membuat film adaptasi The Catcher. Namun Salinger bungkam. Dalam wawancara dengan majalah Premiere, John Cusack mengungkapkan penyesalannya: menunggu kesempatan untuk memainkan karakter Caulfield hingga di saat usianya menginjak 21 tahun ia merasa terlalu tua untuk memainkan karakter itu.
Sesudah Hapworth, karya Salinger tidak muncul lagi. Ia menarik diri dari publik, menyendiri di usia 46 tahun. Ia memang berhenti menerbitkan tulisannya, tapi mungkin ia tidak berhenti menulis. Orang tak tahu persis, apa yang membuat Salinger kurang toleran pada publisitas. Apakah ia merasa bersalah atas efek pemujaan terhadap Caulfield? Mungkin tidak juga, walau ia tahu Mark David Chapman menembak John Lennon dan mengaku terinspirasi oleh karakter Caulfield. Juga, John Hinckley, Jr. yang menembak Ronald Reagan.
Dan bagaimana dengan kemarahannya yang sesekali membuatnya muncul ke permukaan? Salah satunya ketika penulis Inggris, Ian Hamilton, pada 1986, bermaksud menerbitkan In Search of J.D. Salinger: A Writing Life (1935-65), biografi yang memuat surat-surat Salinger kepada penulis lain dan kepada kawan-kawannya. Salinger menggugat dan menuntut agar penerbitan buku itu dihentikan. Hasilnya, pengadilan memutuskan, penggunaan surat-surat dalam karya Hamilton itu sudah ekstensif melampaui batas-batas kewajaran. Penulis surat memiliki hak cipta atas surat itu seperti halnya karya kepenulisan literer yang lain.
Di tahun 1995, ia marah kepada Dariush Mehrjui, sutradara Iran, yang mengadaptasi karyanya, Franny and Zooey. Film ini berhasil diedarkan di Iran sebab AS dan Iran tidak mempunyai perjanjian mengenai hak cipta resmi. Namun, Salinger meminta pengacaranya untuk menghentikan penayangan film itu di Lincoln Center. Mehrjui menyebut Salinger “membingungkan,” dan ia menganggap filmnya sebagai “semacam pertukaran budaya”.
Andaikan Salinger mengikuti saran ayahnya, ia mungkin tak akan seterkenal sekarang. Mungkin ia akan dikenal di antara para pengimpor daging—ia pernah dikirim ayahnya, Sol Salinger, imigran Yahudi asal Polandia, untuk magang di sebuah perusahaan di Wina, Austria. Ia memang lebih gemar berakting dan menulis cerita secara sembunyi-sembunyi dengan bantuan lampu senter, sesuatu yang mencemaskan orangtuanya. Ia putus kuliah dari New York University—apakah ini mengilhaminya untuk menciptakan karakter Caulfield yang dikeluarkan dari sekolahnya?
Salinger muncul lagi, awal Juni 2009, dengan gugatan kepada penulis yang mengaku bernama J.D. California—entah seorang copy-cat atau seorang “pemuja habis” Salinger. Atas perintah pengadilan, karya California itu akhirnya tak boleh beredar di Kanada dan AS
Suara Salinger terdengar nyaring, namun wajahnya tak kelihatan. Mereka yang mengenal nama Salinger dan mahasiswa Dartmouth College kabarnya sering datang berkelompok ke Cornish, berharap melihat Salinger walau selintas. Namun, hanya suaranya yang terdengar. Tetap nyaring di usianya yang 90 tahun.
Hingga kemudian, pada 27 Januari 2010—sekitar 7 bulan setelah gugatannya terdengar oleh publik, Salinger menghilang untuk selamanya. ***

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Di Musim Corona, Hati-hati Jangan Sampai Menghina
Selasa, 14 April 2020 05:33 WIB
Bila Jatuh, Melentinglah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler